Petirtaan Jolotundo, yang juga dikenal dengan sebutan Candi Jolotundo atau Jalatunda, adalah situs peninggalan sejarah yang penting di Indonesia. Kompleks pemandian kuno ini diperkirakan dibangun pada masa Kerajaan Medang yang berpindah dari Jawa Tengah ke Jawa Timur, atau biasa disebut periode Medang Jawa Timur. Petirtaan ini masih berfungsi hingga sekarang dan terletak di Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur, Indonesia.
Lokasi dan Aksesibilitas
Petirtaan Jolotundo terletak di kaki barat Bukit Bekel, sebuah gunung yang merupakan bagian dari wilayah Gunung Penanggungan. Situs ini berada di Dukuh Balekambang, Desa Seloliman, Kecamatan Trawas, Mojokerto, yang berjarak sekitar 50 km arah selatan dari Surabaya dan sekitar 25 km ke tenggara dari Mojokerto. Meski kini mudah diakses oleh wisatawan, pada masa lalu lokasi ini sangat sulit dijangkau, seperti yang tercatat dalam laporan-laporan pengunjung awal pada abad ke-19.
Selain sebagai tempat ziarah, yang dianggap memiliki khasiat spiritual dan medis, Petirtaan Jolotundo kini juga berkembang sebagai destinasi wisata. Pengunjung dapat menikmati keindahan alam sekitar, serta berziarah untuk merasakan manfaat dari mata air yang kaya akan mineral dan dianggap hampir setara dengan mata air Zamzam.
Sejarah Pendirian dan Fungsi
Petirtaan Jolotundo diperkirakan mulai dibangun pada masa pemerintahan Sri Isyana Tunggawijaya, putri Raja Medang, Mpu Sindok, bersama suaminya, Sri Lokapala, seorang bangsawan asal Bali. Berdasarkan sumber sejarah, petirtaan ini merupakan salah satu petirtaan tertua di Jawa Timur yang dibangun sekitar tahun 899 Saka (977 M). Situs ini diperkirakan memiliki fungsi utama sebagai tempat pemandian raja-raja dan bangsawan pada masa itu, yang sering dikaitkan dengan kegiatan spiritual dan penyucian diri.
Salah satu aspek menarik dari Petirtaan Jolotundo adalah relief-relief yang terdapat di candi dan bangunan di sekitarnya, yang menunjukkan pengaruh agama Hindu. Relief ini menggambarkan cerita-cerita dari kitab Mahabharata dan Kathasaritsagara. Petirtaan ini juga dianggap memiliki simbolisme yang mendalam, dengan pancuran yang dibangun menyerupai bentuk Gunung Penanggungan, yang diharapkan dapat memberikan perlindungan dan kemakmuran bagi para penggunanya.
Desain dan Arsitektur
Petirtaan Jolotundo memiliki kolam utama berbentuk persegi panjang yang digunakan untuk pemandian. Saluran air yang mengalir ke kolam berasal dari mata air alami yang berada di sekitar situs. Air ini mengandung mineral yang dianggap memiliki khasiat penyembuhan dan penyucian. Arsitektur petirtaan ini menunjukkan keahlian tinggi dalam teknik pengairan dan pengolahan air yang canggih untuk masa itu. Beberapa bagian petirtaan juga dilengkapi dengan relief yang menggambarkan dewa-dewi Hindu, seperti Dewi Isana dan Agni, yang menambah nilai religius dan simbolis dari situs ini.
Selain itu, terdapat sebuah teras yang dihiasi dengan tulisan dalam aksara Jawa kuno yang menyebutkan nama Udayana, ayah dari Airlangga, yang merupakan raja dari Kerajaan Bedahulu Bali. Hal ini menunjukkan adanya keterkaitan antara Petirtaan Jolotundo dan perkembangan sejarah Kerajaan Medang dan Bali pada masa itu.
Penemuan dan Kajian Sejarah
Penemuan Petirtaan Jolotundo pertama kali dilaporkan oleh J.W.B. Wardenaar pada tahun 1815, yang saat itu bekerja atas perintah Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Thomas Stamford Raffles. Pada masa itu, situs ini masih berada di tengah hutan belantara dan sulit dijangkau. Seiring berjalannya waktu, berbagai kajian dilakukan oleh arkeolog dan ahli sejarah, seperti W.F. Stutterheim pada tahun 1937 dan P.H. Pott pada tahun 1946, yang memberikan kontribusi penting dalam pemahaman tentang fungsi dan makna dari situs ini.
Makna dan Relevansi Budaya
Keberadaan air sebagai elemen penting dalam kehidupan manusia dipandang sebagai sarana penyucian diri, baik fisik maupun spiritual. Pada masa kini, petirtaan ini juga dianggap sebagai tempat yang memiliki kekuatan magis dan khasiat penyembuhan.
Sebagai situs ziarah dan destinasi wisata, Petirtaan Jolotundo menawarkan kesempatan untuk merasakan kedalaman budaya dan sejarah Indonesia, sambil menikmati keindahan alam Gunung Penanggungan yang menambah daya tarik wisatawan.
0 Comments